Desentralisasi : Kemajuan atau Kemunduran?
Mia Ariesta
Semenjak era reformasi, Indonesia seperti mendapatkan
kebebasan keduanya. Kebebasan kedua yang dimaksud disini adalah kebebasan
setelah dikekang oleh rezim otoriter selama 32 tahun. Banyak kebebasan yang
diterima setelah rezim tersebut hancur. Contohnya, kebebasan pers dan kebebasan
pemerintah daerah untuk mengelola daerah sendiri atau yang biasa disebut dengan
desentralisasi.
Konsep mengenai desentralisasi
sebenarnya sudah ada sejak negara ini merdeka. Desentralisasi muncul karena
pemerintah pusat dianggap kewalahan menangani daerah-daerah. Selain itu,
desentralisasi juga muncul karena pemerintah pusat ingin membebaskan para
pemerintah daerah untuk mengambangkan potensi-potensi yang ada di daerahnya.
Namun, karena terganjal beberapa kendala, akhirnya desentralisasi hanya bisa
dilakukan dengan sangat terbatas di pulau Jawa.
Setelah rezim otoriter runtuh, desentralisasi
mulai menemukan tempatnya. Mengacu pada UU no. 22 tahun 1999 yang mengatur
tentang pemerintah daerah[1],
desentralisasi mulai berjalan pada alurnya. Pemerintah pusat mulai membebaskan
pemerintah daerah untuk mengolah daerahnya masing-masing. Pada awalnya,
desentralisasi ini dinilai sebagai suatu kebijakan yang akan berdampak pada
meningkatnya pembangunan yang ada di setiap daerah. Secara politik,
desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi. Dengan desentralisasi,
pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih
dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata.[2] Namun,
pada kenyataannya, hal ini justru menimbulkan suatu masalah baru: Korupsi.
Lahirnya
undang-undang mengenai otonomi daerah ternyata tidak sepenuhnya membawa angin
segar bagi pemerintahan di Indonesia. Faktanya, desentralisasi justru membuka
lahan baru untuk praktek korupsi.[3] Banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah
untuk menyelewengkan sejumlah uang. Meningkatnya kasus korupsi yang dilakukan
oleh kepala daerah merupakan salah satu bukti bahwa desentralisasi menyuburkan
praktek korupsi di Indonesia.
Objek korupsi yang biasa disambangi oleh pemerintah daerah,
dibagi menjadi empat.[4] Pertama,
pengadaan barang dan jasa. Di antaranya terkait pesawat helikopter, pembangunan
bandara, mobil pemadam kebakaran, pembangunan pasar sentral, terminal induk,
rumah dinas, renovasi untuk kantor, dermaga, dan pembangunan perkebunan. Kedua,
anggaran, yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Belanja
Rutin Pos Kepala Daerah (ABRPKD), bantuan sosial, kas daerah, bencana alam,
otonomi khusus, dan alokasi dana Bantuan Daerah (DBD). Ketiga, penerbitan izin, mencakup pemanfaatan kayu,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUP HHK-HT), alih
fungsi hutan lindung, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Dan yang terakhir,
objek lainnya seperti perolehan Adipura, penerbitan laporan keuangan Pemda,
dan pengurusan perkara yang disidang di pengadilan.
Contoh Konkret dari permasalahan desentralisasi di Indonesia
adalah kasus korupsi yang menimpa Walikota Bekasi, Mochtar Muhammad. Mochtar
disinyalir terjerat tiga kasus korupsi selama dia memerintah di Bekasi. Kasus
yang pertama adalah dugaan penyuapan agar Pemerintah Kota Bekasi
mendapatkan penghargaan Adipura pada tahun 2010. Mochtar berupaya menyuap
panitia seleksi penghargaan Adipura pada tahun 2010 yang diduga dibantu oleh kepala
dinas, camat, dan satuan kerja perangkat daerah.
Dugaan
kasus korupsi yang kedua adalah upaya penyuapan dalam pengesahan APBD. Mochtar
diduga telah meminta dana partisipasi sebesar 2 persen dari anggaran proyek
kepada beberapa kepala dinas. Ini dilakukan guna mempercepat proses pengesahan
APBD Pemerintah Kota Bekasi tahun anggaran 2010. Yang ketiga adalah dugaan
penyalahgunaan dana APBD Kota Bekasi tahun 2009 untuk keperluan pribadi.
Menurut Bibit Samad Riyanto[5], Mochtar meminta anak
buahnya melunasi kredit multiguna untuk keperluan pribadi, dengan dana APBD
Bekasi. Modusnya adalah dengan menggelembungkan dana untuk kegiatan dialog atau
audiensi wali kota dengan tokoh masyarakat atau organisasi tahun anggaran 2009.
Selain itu, dana tersebut juga berasal dari surat perintah jalan fiktif. Selain
tiga dugaan kasus korupsi tersebut, KPK juga menelusuri keterlibatan Mochtar
dalam perkara suap terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dengan
tujuan agar laporan Keuangan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2009 mendapat penilaian
wajar tanpa pengecualian.
Contoh
kasus diatas adalah satu dari beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah yang mencuat. Selain kasus korupsi, dampak yang juga terlihat
cukup membayang-bayangi pemerintah pusat adalah gesekan yang cukup terlihat
antar etnis yang menimbulkan sikap kearah etnosentrime. Masalah ini sebenarnya
muncul jauh lebih dulu ketimbang kasus korupsi. Namun, pada awalnya pemerintah
pusat tidak terlalu menganggap ini masalah yang serius. Konflik dan berbagai
gesekan di daerah merupakan manifestasi dari konflik yang selama ini terpendam.
Hubungan pusat-daerah yang lebih diwarnai dengan ketegangan di masa lalu
menemukan salurannya di masa otonomi daerah. Sehingga, potensi adanya konflik
antar etnis terbuka lebar.
Desentralisasi
dan otonomi daerah yang memiliki cita-cita memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah agar dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di tingkat lokal, saat ini berada di persimpangan jalan. Masalah-masalah
yang seharusnya tidak terjadi, kini malah menggerogoti konsep desentralisasi
itu sendiri. Pada dasarnya, desentralisasi merupakan suatu konsep yang
seharusnya menunjang negara untuk dapat leih maju. Namun, pada
pengimplementasiannya, hal itu justru berbanding terbalik dengan apa yang
dicita-citakan. Hal yang mungkin dapat pemerintah lakukan saat ini adalah
menelaah kembali UU yang mengatur mengenai desentralisasi dan memperketat serta
mempertegas jalannya kinerja di daerah oleh masing-masing pemerintah daerah.
Daftar Pustaka
Chalid, Pheni. Otonomi
Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik.
Jakarta:
Kemitraan, 2005.
Dwijowijoto, Riant Nugroho. Otonomi
daerah: desentralisasi tanpa
revolusi: kajian dan kritik atas kebijakan desentralisasi di
Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000.
Rosidin, Utang. Otonomi
Daerah dan Desentralisasi. Bandung: CV.
Pustaka
Setia, 2010.
Widjaya, A. W.. Otonomi
Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Divisi
Buku
Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada, 2002.
"hukumonline.com -
Berita: World Bank: Desentralisasi Penyebab
Maraknya Korupsi."
hukumonline.com.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16966/world-bank-desentralisasi-penyebab-maraknya-korupsi
(diakses pada 11 April 2014).
“Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah." Website Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/1999/uu-22-1999.pdf (diakses pada 10 April
2014).
P.S: Penulis merupakan mahasiswa tingkat (hampir) akhir Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Sangat menyukai futsal, tapi lebih suka sama kamu. bisa dihubungi melalui email: miawariesta@gmail.com
[1] “Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah." Website Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral.
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/1999/uu-22-1999.pdf
(diakses pada 10 April 2014).
[2]Mengacu
pada tulisan pada website http://www.kemitraan.or.id/uploads_file/20101104214711.Otonomi%20Daerah,%20Masalah,%20Pemberdayaan,%20dan%20Konflik.pdf
(diakses pada 11 April 2014).
[3] "hukumonline.com
- Berita: World Bank: Desentralisasi Penyebab Maraknya Korupsi."
hukumonline.com.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16966/world-bank-desentralisasi-penyebab-maraknya-korupsi
(diakses pada 11 April 2014).
[4] Ibid
[5] Bibit
Samad Riyanto adalah Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun
2010
Komentar
Posting Komentar